Gapura Makam Sunan Giri |
Sejak dinasti Tang mencatat keberadaan saudagar tazhi muslim di kalingga: kerajaan di jawa pada tahun 674 masehi, hingga catatan cheng ho yang ketuju ke jawa tahun 1433 masehi islam belum dianut secara besar besaran oleh penduduk lokal (pribumi) dalam buku sejarah indonesia modern 1200-2008 (terbit pada 2008) menegaskan bahwa raja samudera di sumatera bagian utara mengirim dua utusan bernama Arab Cina pada tahun 1282.
Kehadiran muslim - muslim di indonesia tidak menunjukkan bahwa negara negara Islam lokal telah berdiri, tidak juga bahwa telah terjadi perpindahan agama dari penduduk lokal dalam tingkat yang cukup besar. Itu berarti, selama tentang waktu lebih dari 750 tahun Islam belum diterima secara besar besaran oleh penduduk pribumi nusantara.
Sejauh ini, sedikitnya ada empat teori yang dihubungkan proses islamisasi dan perkembangan Islam di indonesia:
(1) Islam disiarkan dari india
(2) islam disiarkan dari arab
(3) islam disiarkan dari persia
(4) islam disiarkan dari cina.
Teori yang mengatakan Islam berasal dari India terutama dari wilayah Gujarat, malabar, corommandel, bengal, didasarkan pada asumsi kesamaan mazhab syafi'i, kesamaan batu nisan, kemiripan sejumlah tradisi dan arsitektur India dan Nusantara. Teori ini didukung oleh Prof Pijnappel, C. Snouck Hurgronje, S.Q Fatamy, J.P Moquette, R.A. Kern, R.O Winstedt, J. Gonda, dan B.J.O Schrieke.
Teori yang menyatakan Islam berasal dari arab Langsung berdasarkan mazhab yang dianut di Indonesia: hazhab Syafi'i. Pendukung teori arab ini adalah Crawfurd, Keyzer, P.J Veth, dan sayed muhammad naquib al-attas. Sedangkan teori yang menyatakan islam berasal dari persia mendasarkan pada asumsi adanya kesamaan pada sejumlah tradisi keagamaan antara Persia dan Indonesia seperti peringatan bulan asyuraa atau 10 muharram, sistem mengeja huruf arab dalam pengajaran Al Qur'an khas Persia untuk menyebut tanda bunyi kharakat seperti jabar (vokal "a" atau fathah), Jer atau zher (vocal "i" atau kasrah),pes atau fyes (vokal "u" atau dhammah), hurus Sin tanpa gigi, pemuliaan ahlul bait dari keluarga Ali bin abi Thalib, dan sebagainya.
Teori ini didukung oleh P.A. Hoesein Djajaningrat, Robert N. Bellah, Prof. A. Hasjmi, Prof. Aboe Bakar Atjeh, dan ph.S. Van Rongkle, sementara itu, teori yang menyatakan Islam berasal sari Cina mendasarkan pada Asumsi adanya unsur Kebudayaan Cina dalam sejumlah unsur Kebudayaan Islam di Indonesia, terutama berdasarkan sumber kronik dari Klenteng Sampokong di Semarang. Teori ini didukung oleh Pros.
Slamet Muljana. Sejarawan H.J. De Graaf telah menyunting kronik Cina, yang diklaim dari hasil rampasan Residen Poortman di Semarang yang memperlihatkan pengaruh orang - orang Cina dalam pengembangan Islam di Indonesia.
Lepas dari perbedaan keempat teori yang belum mencapai titik temu itu, historiografi Jawa, Cirebon, dan Banten justru menyinggung kehadiran rombongan Raden Rahmat dan kakaknya Raden Ali Murtadho yang berasal dari proses dakwah Islam secara masif dan dilakukan secara terorganisasi dan sistematis.
Sebab, setelah kisah kehadiran dua bersaudara putra Syaikh Ibrahim Asmarakandi (as-Samarkandi) itu dipaparkan panjang lebar dalam Babab Tanah Jawi, Serat Kandha, Babad Ngampeldenta, Babad Risaking Majapahit, Serat Kandhaning Ringgit Purwa, Babad Tjerbon, Sadjarah Banten, dan Pustaka Nagara Kretabhumi, kelanjutan cerita-cerita yang lebih rinci memaparkan kisah para putra, menantu, kemenakan, kerabat, serta murid-murid kedua bersaudara asal negeri Champa itu sebagai wali-wali penyebar dakwah Islam yang kisah-kisahnya diliputi peristiwa magis dan mistis, yang menjadi pusat-pusat dari usaha islamisasi di Jawa dan berbagai tempat di Nusantara.
Bersama generasi penerusnyalah, dua bersaudara asal Champa itu menjadikan dakwah Islam sebagai sebuah arus besar dalam perubahan tatanan masyarakat Jawa pada khususnya dan masyarakat Nusantara pada umumnya.
Fakta sejarah kemudian menunjukkan bahwa setelah kedatangan Raden Rahmat dan saudara tuanya, Raden Ali Murtadho ke Jawa, Raden Rahmat diangkat menjadi imam masjid di Surabaya dan dikenal sebagai Sunan Ampel dan Raden Ali Murtadho diangkat menjadi Raja Pandhita di Gresik dan dikenal sebagai Sunan Gresik, Agama Islam mulai dianut oleh kalangan elit pribumi di kalangan keluarga Raja Majapahit yang selanjutnya dianut pula oleh masyarakat umum pribumi secara luas.
Ditinjau dari kronologi sejarah dakwah Islam di Jawa, momentum yang saling menentukan bagi gerakan dakwah Islam untuk berkembang secara masif adalah saat penguasa Majapahit Bhre Kertabhumi (Maharaja Majapahit tahun 1474-1478 M) terlibat persetuan dengan penguasa Kediri Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana. Sebab, dalam perseteruan yang menghancurkan ibukota, melainkan telah pula mengakibatkan ketidak-pastian hukum dan politik di berbagai tempat yang jauh dari kurtaraja Majapahit yang baru di Kediri.
Masjid Sunan Kudus - Jawa Tengah |
Keadaan inilah yang dalam ranah sejarah menjadi salah satu faktor bagi tumbuh pesatnya masyarakat muslim di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa di tengah kemerosotan kekuasaan politis Majapahit akibat munculnya kekuasaan - kekuasaan lokal yang ditegakkan oleh para warlord yang mengaku memiliki hubungan genealogi dengan Raja-Raja Majapahit.
Raden Patah selaku penguasa Demak Bintara, yang secara genealogis masih satu keluarga dengan penguasa Kediri Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana karena sama-sama keturunan Prabu Kertawijaya (Brawijaya V) dengan memperkuat Demak Bintara sebagai kekuasaan Islam dengan penanda dimulainya pembangunan Masjid Agung Demak, yang selesai tahun 1401 Saka atau 1479 Masehi, yaitu setahun setelah hancurnya Kutaraja Majapahit.
Dengan berdirinya Masjid Agung Demak yang dibangun oleh pemerintah Demak Bintara bersama Wali Songo, lambang keberadaan masyarakat Islam yang berdaulat dan tidak lagi di bawah kekuasaan Majapahit yang sudah pudar itu telah menjadi keniscayaan. Sebab, Masjid Agung Demak dibangun ketika Majapahit sudah tidak lagi memiliki raja dan tidak pula memiliki ibukota kerajaan sebagai pusat kekuasaan.
Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana sendiri setelah menghancurkan kekuasaan Bhre Kertabhumi malah memindahkan kekuasaan Majapahit ke daerah pedalaman di Kediri, dan tidak pernah diketahui mengurusi keberadaan Demak Bintara maupun wilayah pesisir utara yang sudah dikuasai para warlord muslim.
Tentang tidak disinggungnya keberadaan Demak Bintara dan wilayah pesisir utara Jawa yang tumbuh di bawah penguasa-penguasa muslim, dimungkinkan terjadi karena Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana yang berkuasa di Kediri yang menggunakan gelar Abhiseka Sri Maharaja Wilwatiktapura Janggala Kadhiri Prabu Natha itu, ditinjau dari aspek genealogi adalah cucu keponakan Raden Patah. Ayahhanda Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana yang bernama Bhre Pandanalas Sri Adhi Suraprabhawa yang bertahta di Majapahit pada 1466 - 1474 M. Yang kekuasaannya dikudeta oleh Bhre Kertabumi pada tahun 1474 Masehi.
Itu adalah putra Bhre Wengker Sri Suryawikrama, saudara seayah Raden Patah karena keduanya adalah putra Prabu Kertawijaya (Brawijaya V). Jadi, dengan hancurnya kekuasaan Bhre Kerthabumi yang ditandai dengan candrasengkala, Sirno ilang Kertaning Bhumi, yang memuat angka tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi itu, praktis kedudukan Demak Bintara tidak lagi di bawah Majapahit yang sudah hancur ibukotanya dan hilang maharajanya itu. Dan, Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana sendiri yang menobatkan diri sebagai penerus tahta Majapahit di Kediri, terbukti tidak pernah mengambil tindakan apa pun terhadap kekuasaan para penguasa pesisir, terutama kekuasaan saudara kakeknya di Demak Bintara.
Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana, yang tampaknya sibuk mengatasi situasi di pedalaman yang kisruh dengan munculnya para warlord
yang sulit dipersatukan, hanya diketahui pernah memberikan hadiah tanah Trailokyapuri di pedalaman kepada Ganggadhara sebagaimana ditulis pada prasasti Jiyu bertahun 1408 atau Masehi.
Semenjak kekuatan Bhre Kertabhumi dihancurkan pasukan Kediri dan Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana kemudian memindahkan kekuasaan dari kutarja Majapahit ke Kediri, Demak memang tidak berada di bawah kekuasaan Kediri yang merasa sebagai penerus Majapahit. Sepanjang rentang waktu kekuasaan Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana yang bergelar Bhattara i Kling, dakwah Islam di Demak Bintara dan sepanjang pesisir utara Jawa berlangsung tanpa hambatan berarti.
Hal yang memungkinkan rentang waktu di akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 itu tidak terjadi perselisihan antara penguasa Majapahit yang Hindu-Buddha di pedalaman dengan penguasa muslim di pesisir, lebih disebabkan oleh fakta bahwa pusat-pusat kekuasaan politik (politicak center power) di Kediri, Terung, Surabaya, Tumapel, Lumajang, Tuban, Lasem, Giri, Wengker, Kahuripan, Demak, Blitar, Pengging, dan Sengguruh secaea de facto dikuasai dan dikendalikan oleh keturunan Prabu Kertawijaya (Brawijaya V).
Atas alasan kekeluargaan inilah yang mungkin telah menyatukan kesepahaman politik kekuasaan para penguasa wilayah dalam sebuah ikatan kekerabatan yang kuat.(*)
Sumber : sejarah Walisanga