Kadang ada sebagian orang yang lebih suka memuja Sengkuni (dan para Kurawa), sekaligus menjelek - jelekkan Pandawa.
Sengkuni disebut sebagai pahlawan pejuang keluarga, dan para Kurawa disebut sebagai kesatria yang jujur-pemberani. Sebaliknya, para Pandawa dicari - cari kesalahannya. Yudistira disebut gila judi, Bima disebut rakus, serta Arjuna disebut hidung belang.
Saya curiga, yang berpendapat demikian apa pernah membaca Mahabharata secara keseluruhan, ataukah hanya tahu sepotong-sepotong dari sinetron India ?
Untuk yang belum tahu, dan ingin tahu, berikut saya tuliskan kronologi kisah antara Pandawa dan Kurawa berdasarkan pakem Mahabharata. Karena sumbernya dari kitab Mahabharata, maka nama-nama tokohnya saya tulis menggunakan ejaan Sanskerta. Misalnya, nama Sengkuni : Sakuni.
KELUARGA SANTANU
Santanu adalah pemimpin Kerajaan Kuru yang beribu kota di Hastinapura. Ia seorang duda yang memiliki putra mahkota bernama Dewabrata. Suatu hari Santanu ingin menikah lagi dengan putri nelayan bernama Satyawati. Namun, Satyawati mengajukan syarat, yaitu keturunannya yang kelak harus dijadikan raja Hastinapura.
Santanu keberatan. Namun, Dewabrata rela berkorban demi ayahnya. Ia menemui Satyawati dan bersumpah dirinya rela tidak menjadi raja, serta tidak akan menikah seumur hidup agar keturunannya tidak menuntut takhta. Ini adalah sumpah yang mengerikan dalam pandangan para kesatria zaman itu, sehingga Dewabrata pun mendapat nama baru, yaitu Bhisma (mengerikan).
Santanu dan Satyawati kemudian resmi menikah. Dari perkawinan tersebut lahir Citranggada dan Wicitrawirya. Citranggada menjadi raja setelah Santanu meninggal. Namun, ia sendiri juga mati muda dibunuh raja gandharwa.
Wicitrawirya yang sakit-sakitan ganti naik takhta. Satyawati khawatir anak bungsunya ini juga mati muda tanpa keturunan. Maka, ia pun memerintahkan Bhisma pergi mencarikan istri untuk Wicitrawirya.
Berkat usaha Bhisma, Wicitrawirya dapat menikah dengan dua putri Kerajaan Kasi, yaitu Ambika dan Ambalika. Namun, tetap saja ia mati muda karena penyakitnya kambuh sebelum kedua istrinya mengandung.
MENYAMBUNG DARAH KURU
Satyawati menyesali keserakahannya. Ia memerintahkan Bhisma untuk membatalkan sumpah dan menikahi kedua janda Wicitrawirya. Namun, Bhisma menolak tegas.
Ia mengusulkan agar diadakan upacara Niyoga sehingga kedua janda itu mendapatkan keturunan yang bisa melanjutkan Dinasti Kuru (atau disebut juga Dinasti Bharata). Upacara Niyoga dapat dilakukan oleh brahmana yang sudah tidak tertarik urusan duniawi.
Satyawati bercerita, bahwa sebelum menikah dengan Santanu, ia pernah melahirkan anak laki-laki bernama Wyasa, putra brahmana Parāśara. Wyasa kini hidup di hutan sebagai petapa. Bhisma setuju dan berangkat mengundang Wyasa ke Hastinapura.
Upacara Niyoga pun dilaksanakan. Wyasa memberikan sperma kepada Ambika dan Ambalika. Namun, kedua janda itu ketakutan melihat wujud Wyasa yang lusuh dan kotor karena baru saja bertapa lama. Ambika memejamkan mata, sedangkan Ambalika pucat wajahnya.
Berkat upacara Niyoga tersebut, Ambika dan Ambalika pun mengandung. Ambika lalu melahirkan bayi bermata buta, diberi nama Dhrtarastra, sedangkan Ambalika melahirkan bayi pucat, diberi nama Pandu. Ambalika juga menyodorkan pelayannya untuk ikut mendapat sperma dari Wyasa, sehingga lahir pula seorang putra bernama Widura.
Meskipun ketiga bayi ini berasal dari benih Wyasa, namun sesuai tradisi, mereka tetap disebut sebagai anak-anak Wicitrawirya, dan berhak menjadi ahli warisnya.
DHRTARASTRA DAN PANDU
Dhrtarastra, Pandu, dan Widura berguru kepada Bhisma. Kemudian Bhisma menikahkan Dhrtarastra yang buta dengan Gandhari, putri Subala raja Gandhara. Saudara Gandhari yang bernama Sakuni menganggap ini sebagai penghinaan. Ia pun bersumpah akan selalu mendampingi Gandhari untuk membahagiakannya.
Sebagai anak sulung, Dhrtarastra berhak menduduki takhta Hastinapura yang sudah lama kosong. Namun, Widura berhasil meyakinkan Satyawati dan Bhisma bahwa seorang tunanetra tidak dapat menjadi raja. Dengan demikian, takhta Hastinapura jatuh kepada Pandu, bukan Dhrtarastra.
Pandu memiliki dua istri, bernama Kunti dari bangsa Yadawa, dan Madri dari bangsa Madras. Namun, karena tanpa sengaja membunuh brahmana bernama Kindama, Pandu pun mendapat kutukan tidak bisa menyentuh istrinya. Pandu merasa berdosa dan pergi ke hutan untuk bertapa ditemani Kunti dan Madri, sedangkan takhta Hastinapura diserahkan kepada Dhṛtarāṣṭra sebagai wakil raja.
Kunti ternyata memiliki mantra mengundang dewa untuk memberinya anugerah anak. Pandu pun memintanya agar memakai mantra tersebut supaya mendapat keturunan. Kunti lalu mendapat tiga putra, yaitu Yudhisthira anugerah Dewa Dharma : Bhimasena anugerah Dewa Bayu, dan Arjuna anugerah Dewa Indra. Kemudian ia mengajarkan mantra tersebut kepada Madri, sehingga lahirlah si kembar Nakula dan Sahadewa, anugerah dari Dewa Aswin Kembar.
Setelah mendapat lima putra, Pandu lupa pada kutukan brahmana Kindama. Ia tergoda untuk menyentuh Madri, sehingga langsung meninggal seketika. Madri merasa berdosa dan ikut menyusul mati.
Bhisma datang berkunjung dan memboyong Kunti beserta kelima putranya kembali ke Hastinapura.
KAURAWA MENYINGKIRKAN PANDAWA
Dhrtarastra dan Gandhari di Hastinapura memiliki seratus putra. Yang paling tua bernama Duryodhana, yang usianya sebaya dengan Bhimasena anak kedua Pandu. Sakuni selalu menghasut Duryodhana bahwa kelima anak Pandu datang untuk merebut takhta Hastinapura.
Sejak kecil, Duryodhana memang diasuh oleh pamannya itu yang selalu memanjakan ia dengan kemewahan. Kini ditambah pula dengan ujaran kebencian yang tiap hari ditanamkan di hatinya.
Semua keturunan Dinasti Kuru disebut Kaurawa, termasuk anak-anak Dhrtarastra dan Pandu. Namun, untuk membedakannya, seratus putra Dhrtarastra disebut Satakaurawa, sedangkan kelima putra Pandu disebut Pancapandawa. Secara sederhana, mereka cukup disebut Kaurawa dan Pandawa saja.
Semua pangeran ini belajar ilmu agama dan tata negara kepada brahmana Krpa, kemudian belajar ilmu perang kepada Drona.
Yudhisthira anak sulung Pandu lalu diangkat sebagai putra mahkota Hastinapura.
Hal ini jelas membuat iri Duryodhana. Dalam sebuah muslihat keji yang dirancang Sakuni, Duryodhana pura-pura mengundang kelima Pandawa dan Kunti untuk berpesta di sebuah gedung di Waranawata. Ternyata pada malam harinya, gedung itu dibakar. Namun, para Pandawa dan Kunti berhasil selamat berkat terowongan bawah tanah yang digali utusan Widura.
PANDAWA MEMBANGUN INDRAPRASTHA
Para Pandawa dan Kunti lalu menyamar menjadi brahmana. Berbagai pengalaman mereka alami, membuat jiwa mereka semakin matang. Hingga akhirnya, para Pandawa bisa menikahi Draupadi putri Drupada setelah Arjuna memenangkan sayembara memanah di Kerajaan Pancala.
Berita bahwa Pandawa masih hidup terdengar oleh pihak Hastinapura. Mereka pun dijemput pulang. Dhrtarastra bimbang karena itu artinya Yudhisthira bisa kembali menjadi putra mahkota, padahal ia terlanjur melantik Duryodhana. Sementara itu, Duryodhana mengancam akan bunuh diri apabila gagal menjadi raja Hastinapura.
Yudhisthira rela tidak menjadi raja daripada Duryodhana bunuh diri. Namun, Dhrtarastra takut menyakiti arwah Pandu. Ia akhirnya mendapat izin dari Bhisma untuk membagi dua wilayah Kerajaan Kuru. Dhrtarastra dan para Kaurawa tetap tinggal di Hastinapura, sedangkan para Pandawa mendapat Hutan Khandawaprastha untuk lokasi istana baru.
Para Pandawa berhasil membangun istana di hutan tersebut, yang kemudian diberi nama Indraprastha.
Bagi para Pandawa, lebih baik hidup di istana hasil keringat sendiri daripada berebut warisan melawan saudara sepupu.
KAURAWA MEREBUT INDRAPRASTHA
Setelah menjadi raja selama dua belas tahun, Yudhisthira mengadakan upacara Rajasuya dengan bantuan Krisna (keponakan Kunti). Para Kaurawa mendapat undangan untuk menghadirinya. Dalam acara itu, Duryodhana kagum melihat betapa indah bangunan istana Indraprastha, jauh melebihi keindahan Hastinapura. Karena kurang waspada, Duryodhana tercebur kolam sehingga diejek buta oleh Draupadi istri Pandawa.
Duryodhana sakit hati dan meminta Sakuni merancang siasat untuk merebut Indraprastha. Para Pandawa lalu diundang bermain dadu di Hastinapura. Dalam permainan itu, para Pandawa kehilangan seluruh harta benda, termasuk Kerajaan Indraprastha. Yudhisthira yang terus-menerus didesak Sakuni nekat mempertaruhkan adik-adiknya, bahkan dirinya sendiri juga dipertaruhkan. Hingga akhirnya, Draupadi pun dipertaruhkan pula.
Draupadi yang pernah menghina Duryodhana balas dihina dengan cara ditelanjangi oleh Duhsasana (Kaurawa nomor dua). Namun, kehormatannya selamat berkat pertolongan Krisna secara gaib. Pelecehan Draupadi ini membuat Gandhari marah dan meminta Duryodhana mengembalikan semua milik Pandawa.
Duryodhana mematuhi ibunya. Namun, ia kembali mengundang para Pāṇḍawa untuk bermain dadu. Yudhisthira pantang menolak tantangan. Ia kembali bermain melawan Sakuni. Kali ini taruhannya ialah, pihak yang kalah harus hidup di hutan selama dua belas tahun, kemudian menyamar selama setahun. Jika ketahuan, maka harus mengulang lagi pembuangan selama dua belas tahun dan menyamar lagi selama setahun.
Pandawa kembali kalah karena dadu yang digunakan terbuat dari tulang ayah Sakuni yang bisa dikendalikan dengan sihir.
MASA PEMBUANGAN PANDAWA
Para Pandawa dan Draupadi menjalani masa pembuangan selama dua belas tahun di hutan. Berbagai pengalaman mereka rasakan, sekaligus sebagai upaya menebus dosa dan memurnikan jiwa. Kemudian mereka menjalani masa penyamaran selama setahun sebagai hamba di Kerajaan Matsya.
Raja Matsya yang bernama Wirata memiliki adik ipar yang sakti bernama Kicaka. Karena menggoda Draupadi, Kicaka pun tewas dibunuh Bhimasena. Berita ini terdengar oleh Duryodhana. Para Kaurawa pun bersekutu dengan Kerajaan Trigarta untuk mengepung Kerajaan Matsya.
Para Pandawa membantu Wirata menghadapi serangan mendadak tersebut. Pihak Kaurawa dapat mengenali Arjuna, sehingga membuat Duryodhana senang, karena itu berarti Pandawa gagal dalam penyamaran. Namun, menurut perhitungan Bhisma, para Pandawa sudah genap setahun dalam penyamaran.
PERUNDINGAN DAMAI
Para Pandawa mengirim brahmana Kerajaan Pancala sebagai duta untuk meminta kembalinya Indraprastha. Duryodhana menolak duta tersebut dan mengatakan Pandawa harus mengulang lagi masa pembuangan dua belas tahun di hutan, karena penyamaran mereka terbukti gagal.
Para Pandawa lalu mengirim duta lagi, yaitu Krisna yang cerdik. Kali ini Pandawa rela tidak mendapatkan Indraprastha, namun cukup diberi lima desa saja sebagai tempat tinggal. Lagi-lagi Duryodhana menolak permintaan itu, bahkan mencoba membunuh Krisna tetapi gagal.
Duryodhana ganti mengirim duta, yaitu Uluka anak Sakuni. Uluka menyampaikan pesan, bahwa Pandawa boleh mengambil kembali Indraprastha apabila mereka menang perang melawan Kaurawa.
Pandwa selama ini selalu mengalah. Namun, mereka pantang menolak tantangan. Apabila Kaurawa mengajak perang, maka mereka pun bersedia menghadapi.
PERANG BHARATAYUDHA
Perang antara Pandawa dan Kaurawa terjadi di lapangan Kuruksetra. Pandawa dibantu sekutu mereka sebanyak tujuh aksauhini, sedangkan Kaurawa dibantu sekutu sebanyak sebelas aksauhini. Perang besar ini terjadi selama delapan belas hari, namun membawa korban jutaan nyawa, termasuk Bhisma, Drona, Karṇa (kakak Pandawa), serta Salya (raja Madra). Seratus Kaurawa pun tewas semua, begitu pula dengan anak-anak Pandawa.
Dari pihak Pandawa yang tersisa hidup adalah Pandawa Lima, Krisna, dan Satyaki. Sementara itu, dari pihak Kaurawa yang tersisa hidup adalah Krpa, Aswatthama, dan Krtawarma. Aswatthama dikutuk Krisna menjadi gelandangan yang bisu seumur hidup karena menyerang kemah Pandawa di waktu malam ; adapun Krpa bergabung dengan para Pandawa : sedangkan Krtawarma pulang ke negaranya dan kelak (36 tahun kemudian) ia tewas bersama Satyaki dan seluruh bangsa Yadawa.
DHRTARASTRA MENYERAHKAN NEGARA
Para Pandawa telah memenangi Perang Bharatayudha. Namun, Yudhisthira menolak menjadi raja. Ia tetap meminta Dhrtarastra saja yang memimpin di Hastinapura. Dhrtarastra menerima dengan senang hati. Namun kemudian, ia didatangi Bhimasena yang mengungkapkan semua kesalahannya. Bhimasena menyebut para Kaurawa memang mati di tangannya, tetapi penyebab semua ini adalah sikap Dhrtarastra yang tidak tegas dalam mendidik anak. Bhimasena menyebut Dhrtarastra terlalu memanjakan para Kaurawa, dan menjadikan Duryodhana sebagai alat untuk menyalurkan ambisi terpendamnya, yaitu berkuasa atas Kerajaan Kuru.
Dhrtarastra menyadari semua dosanya. Ia pun menyerahkan takhta Hastinapura kepada Yudhisthira, lalu pergi bertapa ke hutan bersama Gandari.
Kunti juga ikut serta untuk melayani mereka, sebagai penebus dosa karena para Pandawa telah menewaskan semua Kaurawa.
Yudhisthira akhirnya menjadi raja di Hastinapura. Kerajaan Kuru pun kembali bersatu di bawah kepemimpinannya.
Demikianlah ringkasan kisah Pandawa dan Kurawa. Pandawa selalu mengalah, mengutamakan perdamaian, tidak pernah memulai perang. Namun, ketika Kurawa menantang perang, maka Pandawa pantang untuk menolak.
Sengkuni disebut sebagai pahlawan pejuang keluarga, dan para Kurawa disebut sebagai kesatria yang jujur-pemberani. Sebaliknya, para Pandawa dicari - cari kesalahannya. Yudistira disebut gila judi, Bima disebut rakus, serta Arjuna disebut hidung belang.
Saya curiga, yang berpendapat demikian apa pernah membaca Mahabharata secara keseluruhan, ataukah hanya tahu sepotong-sepotong dari sinetron India ?
Untuk yang belum tahu, dan ingin tahu, berikut saya tuliskan kronologi kisah antara Pandawa dan Kurawa berdasarkan pakem Mahabharata. Karena sumbernya dari kitab Mahabharata, maka nama-nama tokohnya saya tulis menggunakan ejaan Sanskerta. Misalnya, nama Sengkuni : Sakuni.
KELUARGA SANTANU
Santanu adalah pemimpin Kerajaan Kuru yang beribu kota di Hastinapura. Ia seorang duda yang memiliki putra mahkota bernama Dewabrata. Suatu hari Santanu ingin menikah lagi dengan putri nelayan bernama Satyawati. Namun, Satyawati mengajukan syarat, yaitu keturunannya yang kelak harus dijadikan raja Hastinapura.
Santanu keberatan. Namun, Dewabrata rela berkorban demi ayahnya. Ia menemui Satyawati dan bersumpah dirinya rela tidak menjadi raja, serta tidak akan menikah seumur hidup agar keturunannya tidak menuntut takhta. Ini adalah sumpah yang mengerikan dalam pandangan para kesatria zaman itu, sehingga Dewabrata pun mendapat nama baru, yaitu Bhisma (mengerikan).
Santanu dan Satyawati kemudian resmi menikah. Dari perkawinan tersebut lahir Citranggada dan Wicitrawirya. Citranggada menjadi raja setelah Santanu meninggal. Namun, ia sendiri juga mati muda dibunuh raja gandharwa.
Wicitrawirya yang sakit-sakitan ganti naik takhta. Satyawati khawatir anak bungsunya ini juga mati muda tanpa keturunan. Maka, ia pun memerintahkan Bhisma pergi mencarikan istri untuk Wicitrawirya.
Berkat usaha Bhisma, Wicitrawirya dapat menikah dengan dua putri Kerajaan Kasi, yaitu Ambika dan Ambalika. Namun, tetap saja ia mati muda karena penyakitnya kambuh sebelum kedua istrinya mengandung.
MENYAMBUNG DARAH KURU
Satyawati menyesali keserakahannya. Ia memerintahkan Bhisma untuk membatalkan sumpah dan menikahi kedua janda Wicitrawirya. Namun, Bhisma menolak tegas.
Ia mengusulkan agar diadakan upacara Niyoga sehingga kedua janda itu mendapatkan keturunan yang bisa melanjutkan Dinasti Kuru (atau disebut juga Dinasti Bharata). Upacara Niyoga dapat dilakukan oleh brahmana yang sudah tidak tertarik urusan duniawi.
Satyawati bercerita, bahwa sebelum menikah dengan Santanu, ia pernah melahirkan anak laki-laki bernama Wyasa, putra brahmana Parāśara. Wyasa kini hidup di hutan sebagai petapa. Bhisma setuju dan berangkat mengundang Wyasa ke Hastinapura.
Upacara Niyoga pun dilaksanakan. Wyasa memberikan sperma kepada Ambika dan Ambalika. Namun, kedua janda itu ketakutan melihat wujud Wyasa yang lusuh dan kotor karena baru saja bertapa lama. Ambika memejamkan mata, sedangkan Ambalika pucat wajahnya.
Berkat upacara Niyoga tersebut, Ambika dan Ambalika pun mengandung. Ambika lalu melahirkan bayi bermata buta, diberi nama Dhrtarastra, sedangkan Ambalika melahirkan bayi pucat, diberi nama Pandu. Ambalika juga menyodorkan pelayannya untuk ikut mendapat sperma dari Wyasa, sehingga lahir pula seorang putra bernama Widura.
Meskipun ketiga bayi ini berasal dari benih Wyasa, namun sesuai tradisi, mereka tetap disebut sebagai anak-anak Wicitrawirya, dan berhak menjadi ahli warisnya.
DHRTARASTRA DAN PANDU
Dhrtarastra, Pandu, dan Widura berguru kepada Bhisma. Kemudian Bhisma menikahkan Dhrtarastra yang buta dengan Gandhari, putri Subala raja Gandhara. Saudara Gandhari yang bernama Sakuni menganggap ini sebagai penghinaan. Ia pun bersumpah akan selalu mendampingi Gandhari untuk membahagiakannya.
Sebagai anak sulung, Dhrtarastra berhak menduduki takhta Hastinapura yang sudah lama kosong. Namun, Widura berhasil meyakinkan Satyawati dan Bhisma bahwa seorang tunanetra tidak dapat menjadi raja. Dengan demikian, takhta Hastinapura jatuh kepada Pandu, bukan Dhrtarastra.
Pandu memiliki dua istri, bernama Kunti dari bangsa Yadawa, dan Madri dari bangsa Madras. Namun, karena tanpa sengaja membunuh brahmana bernama Kindama, Pandu pun mendapat kutukan tidak bisa menyentuh istrinya. Pandu merasa berdosa dan pergi ke hutan untuk bertapa ditemani Kunti dan Madri, sedangkan takhta Hastinapura diserahkan kepada Dhṛtarāṣṭra sebagai wakil raja.
Kunti ternyata memiliki mantra mengundang dewa untuk memberinya anugerah anak. Pandu pun memintanya agar memakai mantra tersebut supaya mendapat keturunan. Kunti lalu mendapat tiga putra, yaitu Yudhisthira anugerah Dewa Dharma : Bhimasena anugerah Dewa Bayu, dan Arjuna anugerah Dewa Indra. Kemudian ia mengajarkan mantra tersebut kepada Madri, sehingga lahirlah si kembar Nakula dan Sahadewa, anugerah dari Dewa Aswin Kembar.
Setelah mendapat lima putra, Pandu lupa pada kutukan brahmana Kindama. Ia tergoda untuk menyentuh Madri, sehingga langsung meninggal seketika. Madri merasa berdosa dan ikut menyusul mati.
Bhisma datang berkunjung dan memboyong Kunti beserta kelima putranya kembali ke Hastinapura.
KAURAWA MENYINGKIRKAN PANDAWA
Dhrtarastra dan Gandhari di Hastinapura memiliki seratus putra. Yang paling tua bernama Duryodhana, yang usianya sebaya dengan Bhimasena anak kedua Pandu. Sakuni selalu menghasut Duryodhana bahwa kelima anak Pandu datang untuk merebut takhta Hastinapura.
Sejak kecil, Duryodhana memang diasuh oleh pamannya itu yang selalu memanjakan ia dengan kemewahan. Kini ditambah pula dengan ujaran kebencian yang tiap hari ditanamkan di hatinya.
Semua keturunan Dinasti Kuru disebut Kaurawa, termasuk anak-anak Dhrtarastra dan Pandu. Namun, untuk membedakannya, seratus putra Dhrtarastra disebut Satakaurawa, sedangkan kelima putra Pandu disebut Pancapandawa. Secara sederhana, mereka cukup disebut Kaurawa dan Pandawa saja.
Semua pangeran ini belajar ilmu agama dan tata negara kepada brahmana Krpa, kemudian belajar ilmu perang kepada Drona.
Yudhisthira anak sulung Pandu lalu diangkat sebagai putra mahkota Hastinapura.
Hal ini jelas membuat iri Duryodhana. Dalam sebuah muslihat keji yang dirancang Sakuni, Duryodhana pura-pura mengundang kelima Pandawa dan Kunti untuk berpesta di sebuah gedung di Waranawata. Ternyata pada malam harinya, gedung itu dibakar. Namun, para Pandawa dan Kunti berhasil selamat berkat terowongan bawah tanah yang digali utusan Widura.
PANDAWA MEMBANGUN INDRAPRASTHA
Para Pandawa dan Kunti lalu menyamar menjadi brahmana. Berbagai pengalaman mereka alami, membuat jiwa mereka semakin matang. Hingga akhirnya, para Pandawa bisa menikahi Draupadi putri Drupada setelah Arjuna memenangkan sayembara memanah di Kerajaan Pancala.
Berita bahwa Pandawa masih hidup terdengar oleh pihak Hastinapura. Mereka pun dijemput pulang. Dhrtarastra bimbang karena itu artinya Yudhisthira bisa kembali menjadi putra mahkota, padahal ia terlanjur melantik Duryodhana. Sementara itu, Duryodhana mengancam akan bunuh diri apabila gagal menjadi raja Hastinapura.
Yudhisthira rela tidak menjadi raja daripada Duryodhana bunuh diri. Namun, Dhrtarastra takut menyakiti arwah Pandu. Ia akhirnya mendapat izin dari Bhisma untuk membagi dua wilayah Kerajaan Kuru. Dhrtarastra dan para Kaurawa tetap tinggal di Hastinapura, sedangkan para Pandawa mendapat Hutan Khandawaprastha untuk lokasi istana baru.
Para Pandawa berhasil membangun istana di hutan tersebut, yang kemudian diberi nama Indraprastha.
Bagi para Pandawa, lebih baik hidup di istana hasil keringat sendiri daripada berebut warisan melawan saudara sepupu.
KAURAWA MEREBUT INDRAPRASTHA
Setelah menjadi raja selama dua belas tahun, Yudhisthira mengadakan upacara Rajasuya dengan bantuan Krisna (keponakan Kunti). Para Kaurawa mendapat undangan untuk menghadirinya. Dalam acara itu, Duryodhana kagum melihat betapa indah bangunan istana Indraprastha, jauh melebihi keindahan Hastinapura. Karena kurang waspada, Duryodhana tercebur kolam sehingga diejek buta oleh Draupadi istri Pandawa.
Duryodhana sakit hati dan meminta Sakuni merancang siasat untuk merebut Indraprastha. Para Pandawa lalu diundang bermain dadu di Hastinapura. Dalam permainan itu, para Pandawa kehilangan seluruh harta benda, termasuk Kerajaan Indraprastha. Yudhisthira yang terus-menerus didesak Sakuni nekat mempertaruhkan adik-adiknya, bahkan dirinya sendiri juga dipertaruhkan. Hingga akhirnya, Draupadi pun dipertaruhkan pula.
Draupadi yang pernah menghina Duryodhana balas dihina dengan cara ditelanjangi oleh Duhsasana (Kaurawa nomor dua). Namun, kehormatannya selamat berkat pertolongan Krisna secara gaib. Pelecehan Draupadi ini membuat Gandhari marah dan meminta Duryodhana mengembalikan semua milik Pandawa.
Duryodhana mematuhi ibunya. Namun, ia kembali mengundang para Pāṇḍawa untuk bermain dadu. Yudhisthira pantang menolak tantangan. Ia kembali bermain melawan Sakuni. Kali ini taruhannya ialah, pihak yang kalah harus hidup di hutan selama dua belas tahun, kemudian menyamar selama setahun. Jika ketahuan, maka harus mengulang lagi pembuangan selama dua belas tahun dan menyamar lagi selama setahun.
Pandawa kembali kalah karena dadu yang digunakan terbuat dari tulang ayah Sakuni yang bisa dikendalikan dengan sihir.
MASA PEMBUANGAN PANDAWA
Para Pandawa dan Draupadi menjalani masa pembuangan selama dua belas tahun di hutan. Berbagai pengalaman mereka rasakan, sekaligus sebagai upaya menebus dosa dan memurnikan jiwa. Kemudian mereka menjalani masa penyamaran selama setahun sebagai hamba di Kerajaan Matsya.
Raja Matsya yang bernama Wirata memiliki adik ipar yang sakti bernama Kicaka. Karena menggoda Draupadi, Kicaka pun tewas dibunuh Bhimasena. Berita ini terdengar oleh Duryodhana. Para Kaurawa pun bersekutu dengan Kerajaan Trigarta untuk mengepung Kerajaan Matsya.
Para Pandawa membantu Wirata menghadapi serangan mendadak tersebut. Pihak Kaurawa dapat mengenali Arjuna, sehingga membuat Duryodhana senang, karena itu berarti Pandawa gagal dalam penyamaran. Namun, menurut perhitungan Bhisma, para Pandawa sudah genap setahun dalam penyamaran.
PERUNDINGAN DAMAI
Para Pandawa mengirim brahmana Kerajaan Pancala sebagai duta untuk meminta kembalinya Indraprastha. Duryodhana menolak duta tersebut dan mengatakan Pandawa harus mengulang lagi masa pembuangan dua belas tahun di hutan, karena penyamaran mereka terbukti gagal.
Para Pandawa lalu mengirim duta lagi, yaitu Krisna yang cerdik. Kali ini Pandawa rela tidak mendapatkan Indraprastha, namun cukup diberi lima desa saja sebagai tempat tinggal. Lagi-lagi Duryodhana menolak permintaan itu, bahkan mencoba membunuh Krisna tetapi gagal.
Duryodhana ganti mengirim duta, yaitu Uluka anak Sakuni. Uluka menyampaikan pesan, bahwa Pandawa boleh mengambil kembali Indraprastha apabila mereka menang perang melawan Kaurawa.
Pandwa selama ini selalu mengalah. Namun, mereka pantang menolak tantangan. Apabila Kaurawa mengajak perang, maka mereka pun bersedia menghadapi.
PERANG BHARATAYUDHA
Perang antara Pandawa dan Kaurawa terjadi di lapangan Kuruksetra. Pandawa dibantu sekutu mereka sebanyak tujuh aksauhini, sedangkan Kaurawa dibantu sekutu sebanyak sebelas aksauhini. Perang besar ini terjadi selama delapan belas hari, namun membawa korban jutaan nyawa, termasuk Bhisma, Drona, Karṇa (kakak Pandawa), serta Salya (raja Madra). Seratus Kaurawa pun tewas semua, begitu pula dengan anak-anak Pandawa.
Dari pihak Pandawa yang tersisa hidup adalah Pandawa Lima, Krisna, dan Satyaki. Sementara itu, dari pihak Kaurawa yang tersisa hidup adalah Krpa, Aswatthama, dan Krtawarma. Aswatthama dikutuk Krisna menjadi gelandangan yang bisu seumur hidup karena menyerang kemah Pandawa di waktu malam ; adapun Krpa bergabung dengan para Pandawa : sedangkan Krtawarma pulang ke negaranya dan kelak (36 tahun kemudian) ia tewas bersama Satyaki dan seluruh bangsa Yadawa.
DHRTARASTRA MENYERAHKAN NEGARA
Para Pandawa telah memenangi Perang Bharatayudha. Namun, Yudhisthira menolak menjadi raja. Ia tetap meminta Dhrtarastra saja yang memimpin di Hastinapura. Dhrtarastra menerima dengan senang hati. Namun kemudian, ia didatangi Bhimasena yang mengungkapkan semua kesalahannya. Bhimasena menyebut para Kaurawa memang mati di tangannya, tetapi penyebab semua ini adalah sikap Dhrtarastra yang tidak tegas dalam mendidik anak. Bhimasena menyebut Dhrtarastra terlalu memanjakan para Kaurawa, dan menjadikan Duryodhana sebagai alat untuk menyalurkan ambisi terpendamnya, yaitu berkuasa atas Kerajaan Kuru.
Dhrtarastra menyadari semua dosanya. Ia pun menyerahkan takhta Hastinapura kepada Yudhisthira, lalu pergi bertapa ke hutan bersama Gandari.
Kunti juga ikut serta untuk melayani mereka, sebagai penebus dosa karena para Pandawa telah menewaskan semua Kaurawa.
Yudhisthira akhirnya menjadi raja di Hastinapura. Kerajaan Kuru pun kembali bersatu di bawah kepemimpinannya.
Demikianlah ringkasan kisah Pandawa dan Kurawa. Pandawa selalu mengalah, mengutamakan perdamaian, tidak pernah memulai perang. Namun, ketika Kurawa menantang perang, maka Pandawa pantang untuk menolak.