Pendopo Agung Kabupaten Ponorogo (foto : Nur_Ae). |
Mpu Sindok naik tahta menjadi raja pertama kerajaan Medang di Jawa Timur tahun 929 M bergelar Sri Isyana Wikrama Darmatunggadewa, yang mana menjadi moyang, cikal bakal bagi raja-raja di Jawa selama 300 tahun berturut-turut.
Ia memerintah dengan permaisurinya Parameswari Sri Wardani Mpu Kbi (Putri Rakai Wawa), untuk menjalankan pemerintahan. Dalam buku "Babad Ponorogo" karya Purwowijoyo, disebutkan selain Mpu Sindok ada lagi satu rombongan yang pindah ke Jawa Timur dibawah pimpinan Kettu Wijaya, putra Raja Medang.
Kemudian mendirikan kerajaan yang diberi nama Wengker. Kettu Wijaya berkuasa tahun 986 -1037 M.
Nama Wengker adalah akronim dari "Wewengkon angker" atau tempat yang angker.
Letak kerajaan Wengker dibawah pimpinan Kettu Wijaya bermacam versi. Dalam "Babad Ponorogo" disebutkan Sebelah utara : antara gunung Kendeng dan gunung Pandan, Sebelah Timur : Gunung Wilis sampai wilayah laut Selatan.
Sebelah Selatan : Wilayah Laut selatan, dan Sebelah barat : pegunungan mulai laut selatan sampai Gunung Lawu. Dalam buku ini juga disebutkan keraton Wengker di sekitar Setono Kecamatan Jenangan (mengutip pendapat dari Prof.Dr. NJ.Krom dan Dra.Setyawati Suleman). Digambarkan Kerajaan Wengker pada saat itu aman santosa, rakyatnya senang melakukan tapa brata dan menguasai banyak ilmu batin.
Adapun batas wilayah ditandai dengan sungai, untuk pertahanan wilayah terdapat tiga benteng dalam tanah istilahnya Benteng Pendem. Versi lain sebagaimana dalam buku "Ungkapan sejarah kerajaan Wengker dan Reyog Ponorogo" (Moelyadi) letak kerajaan Wengker masa ini adalah di daerah Dolopo Madiun, pusatnya di Desa Daha.
Pada tahun 947 M, Mpu Sindok digantikan anaknya yang bernama Sri Isyanatungga Wijaya yang menikah dengan Sri Lokapala. Selanjutnya ia digantikan putranya, Sri Makuthawangsa Wardana, Sri Makuthawangsa Wardana mempunyai dua orang putri.
Salah satu putrinya menikah dengan Dharmawangsa. Selanjutnya sang menantu itulah yang kemudian memegang tampuk kekuasaan di Medang.
Salah satu putri Makuthawangsa yang bernama Mahendradatta menikah dengan Udayana dan mempunyai anak bernama Airlangga. Dalam memimpin Medang, Dharmawangsa mempunyai ambisi besar memperluas wilayah. Kerajaan Medang saat itu diperkirakan di sekitar daerah Maospati Magetan
Pada tahun 1016 M, kerajaan Medang diserang Sriwijaya bersama sekutunya yaitu Wurawari dan Wengker, sehingga raja Dharmawangsa dan seluruh pembesar istana tewas. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan "Pralaya" atau kehancuran. Dalam Prasasti Kalkuta yaitu Prasasti Airlangga, disebut bahwa "Ri Prahara, haji Wurawari maso mijil sangka Lwaran".
Letak Wurawari ada beberapa pendapat. Menurut Moh. Hari Soewarno di Jawa Timur. Menurut Prof.Dr.G.De Casparis dari Semenanjung Malaka. Ada pula yang berpendapat di Banyumas. penyerangan Raja Wurawari ada yang berpendapat disebabkan iri atas kegagalannya mempersunting putri Dharmawangsa.
Selain itu berserta sekutunya ingin menghancurkan Medang. Sementara keterlibatan Wengker adalah pengaruh ekspansif Medang yang berusaha memperluas wilayah dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil dan juga persaingan di bidang ekonomi.
Satu-satunya yang berhasil lolos dari serangan tersebut adalah Airlangga, yang pada saat itu sedang melangsungkan pernikahan dengan putri Dharmawangsa. Pada waktu itu usia Airlangga 16 tahun, beserta Narotama ia bersembunyi dan mendapatkan tempaan jasmani rohani dari gurunya yaitu Mpu Barada di hutan sekitar daerah Wonogiri.
Namun pada perkembangannya lokasi penempaan Airlangga diperkirakan di daerah Pager Ukir Kecamatan Sampung Ponorogo yang dibuktikan dengan keberadaan situs bersejarah dimana terdapat bukti jejak keberadaan airlangga dan juga lokasi pegunungan dan hutan yang memenuhi syarat sebagai tempat persembunyian.
Pada tahun 1019 M, Airlangga dinobatkan menjadi raja Kahuripan yang terletak di bekas reruntuhan bekas Kerajaan Medang. Saat itu bekas Kerajaan Medang sepeninggal Dharmawangsa merupakan wilayah yang kecil karena setelah "pralaya", wilayah Medang terpecah-pecah.
Tahun 1028 M, Airlangga memulai usahanya menyatukan kembali wilayah Medang, termasuk terhadap Kerajaan Wengker. Tahun 1031 Wengker bisa ditaklukkan. Pada tahun 1035 M Kerajaan Wengker ternyata bangkit dan kuat lagi. Airlangga kembali menyerang Wengker dengan kekuatan pasukan yang besar pada tahun 1037 M, Kettu Wijaya mengalami kekalahan, terpaksa meninggalkan harta benda dan permaisurinya.
Kettu Wijaya lari ke desa Topo, kemudian pindah ke Kapang diikuti beberapa prajuritnya. Karena terus diserang pasukan Airlangga ia lari ke Sarosa.
Di sinilah akhirnya Kettu Wijaya bisa dikalahkan, dan ia dibunuh oleh prajuritnya sendiri, versi lain mengatakan bahwa Kettu Wijaya hilang beserta jiwa raganya (moksa). Sumber lain ada menyebutkan, setelah dikalahkan Airlangga Kettu Wijaya menjadi pertapa.
Dengan demikian berakhirlah riwayat kerajaan Wengker era Kettu Wijaya. Selanjutnya wilayah Wengker menjadi daerah kekuasaan Airlangga.
Raja Wengker selanjutnya adalah Prabu Jaka Bagus (Sri Garasakan), yang memerintah Wengker tahun 1078 M, lokasi Wengker diperkirakan di utara gunung Gajah, desa Bangsalan Kecamatan Sambit Ponorogo.
Prabu Jaka Bagus dikenal memiliki kesaktian yang luar biasa, untuk memiliki kesaktian tersebut ia tidak mempunyai istri, sebagai gantinya ia memelihara laki-laki sebagai gantinya atau yang biasa disebut "gemblak".
Raja Jaka Bagus dikenal sebagai raja warok pertama. Warok berasal dari "WARA" = pria agung, pria yang diagungkan.
Wengker di masa kerajaan Majapahit
Dimasa pemerintahan Airlangga, wilayah Kerajaan Wengker tidak pernah terjadi peperangan maupun persengketaan, sebaliknya menjadi daerah yang aman tentram. Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua yaitu Kediri atau Daha dan Jenggala atau Panjalu.
Sepeninggal Airlangga terjadi perang saudara antara kedua kerajaan tersebut. Situasi yang tidak stabil itu digunakan Wengker menyusun kekuatan baru sehingga sampai berdirinya Majapahit nama Wengker masih eksis bahkan hubungan kedua kerajaan terjalin dengan baik.
Dimasa pemerintahan Majapahit, Wengker dipimpin seorang raja bernama Raden Kudamerta (Wijayarajasa), dalam Kitab Nagarakartagama disebutkan "Priya haji sang umunggu Wengker bangun hyang Upandra Nurun Narpari Wijayarajasanopamana parama-ajnottama".
Dari kitab ini menunjukkan bahwa yang membangun kerajaan Wengker adalah Wijayarajasa, sebagai raja pertama. Dalam Kitab ini juga disebutkan Raden Kudamerta menikah dengan Bhre Dhaha. Raden Kudamerta berkedudukan di Wengker dengan nama Bhre Parameswara dari Pamotan yang dikenal dengan nama Cri Wijayarajasa. Yang dimaksud Bhre Dhaha adalah dewi Maharajasa adik Tribhuwana. Berarti Wijayarajasa adalah menantu Raden Wijaya.
Selain menjadi raja Wengker, Wijayarajasa merupakan tokoh yang mempunyai peran besar di Majapahit, antara lain : salah satu dari 8 tokoh yang diundang pada waktu pengangkatan mahapatih Gajahmada tahun 1364 M, diangkat menjadi anggota dewan Sapta Prabu, menjadi anggota dewan pertimbangan agung tahun 1351 M, mengambil tindakan tegas terhadap kesalahan yang dilakukan Gajah Mada atas peristiwa Bubat, dan mendapat penghargaan dari Tribhuwana Tunggadewi.
Putra Wijayarajasa yang bernama Susumma Dewi/paduka Sori menikah dengan Hayam Wuruk tahun 1357M, setelah prabu Hayam Wuruk gagal menikah dengan putri Pajajaran yang meninggal pada peristiwa Bubad. Pernikahan itu merupakan pernikahan keluarga karena ibu Susumma Dewi adalah adik TriBhuawana Tunggadewi (ibu Hayam Wuruk). Hayam Wuruk dan Susumma Dewi adalah sama-sama cucu Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana).
Dari pernikahan-pernikahan yang melibatkan dua kerajaan (Majapahit dan Wengker), menurut Dr.NJ.Krom bahwa untuk pergi ke Bubad disamakan pendapat dengan ke Wengker. Sepeti kita ketahui Perang Bubad terjadi sebagai akibat perkawinan politik yaitu salah satu cara Majapahit menaklukkan kerajaan disekitarnya. Dalam hal ini meski Wengker adalah daerah kekuasaan Majapahit, tetapi kekuatan Wengker sangat diperhitungkan Majapahit kala itu.
Dalam kurun waktu ini, dari berbagai sumber memang jarang diungkap keadaan dalam kerajaan Wengker sendiri karena memang peran Wijayarajasa lebih banyak di Majapahit dibanding memimpin kerajaannya sendiri.
Ada yang memperkirakan pusat pemerintahan Wengker pada saat itu berada di sekitar Kecamatan Sambit Ponorogo. Wijayarajasa meninggal pada tahun 1310 saka dimakamkan di Manar dengan nama Wisnubhawano.
Era kepemimpinan Wengker dimasa Majapahit berikutnya adalah Dyah Suryawikrama Girishawardana, ia adalah anak Dyah Kertawaijaya. Ia memimpin Wengker sejak ayahnya masih memimpin pemerintahan Majapahit tahun 1447 - 1451M.
Setelah kekosongan kekuasaan selama tiga tahun ia memimpin Majapahit selama 10 tahun (1456-1466 M). Dalam kitab Pararaton ia bergelar Bhre Hyang Purwawisesa. Ia meninggal tahun 1466 M dan dimakamkan di Puri. Sampai masa ini nama Wengker masih disebut-sebut dalam sejarah Majapahit.
Wengker di masa kerajaan Demak
Diakhir kejayaan Majapahit yang mana wilayah majapahit terpecah-pecah. Wilayah seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Surabaya memerdekakan diri. Kerajaan kecil yang tumbuh menjadi besar adalah kesultanan Demak yang diperintah Raden Patah sekitar awal abad XVI. Demak menguasai kota-kota pesisir lain seperti Lasem, Tuban, Gresik dan Sedayu. Raden Patah diakui sebagai pemimpin kota-kota dagang pesisir dengan gelar sultan. Dari Demak agama Islam disebarkan ke seluruh Jawa bahkan luar Jawa.
Raden Patah adalah putra Prabu Majapahit dengan putri Cina yang pada waktu hamil muda diberikan kepada Arya Damar, setelah lahir diberi nama Raden Patah. Prabu Majapahit yang mempunyai istri putri Cina adalah Brawijaya terakhir.
Arya Damar menyatakan kepada permaisurinya bahwa putranya tesebut akan menjadi raja Islam yang pertama di Jawa. Sebagaimana kita ketahui Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa adalah Demak.
Pada saat Raden Patah menginjak dewasa kerajaan Hindu Majapahit telah mulai runtuh yang disebabkan perlawanan kaum bangsawan yang telah mendirikan kota di pantai utara dan mendapat dukungan Islam. Kesempatan ini dipergunakan Raden Patah menemui Sunan Ampel atau Raden Rahmad.
Raden Patah mengutarakan beberapa hal mengenai Majapahit yang telah lemah. Raden Patah tinggal di rumah Raden Rahmad untuk belajar beberapa hal, setelah cukup diberi kedudukan di Bintoro.
Bintoro dikembangkan atas dasar Islam. Mendengar hal tersebut raja Majapahit, prabu Brawijaya mengangkat Raden Patah menjadi mangkubumi di Bintoro.
Berkat dukungan para wali, Bintoro berkembang menjadi kerajaan Islam pertama dengan nama Demak tahun 1481 M, dibawah pimpinan Raden Patah dengan gelar Panembahan Djimbun.
Seiring munculnya Demak, Majapahit semakin parah dilanda krisis, Brawijaya telah diganti / direbut Girishawardana yang sebenarnya tidak berhak atas tahta Majapahit. Pada waktu raja Brawijaya terakhir, telah memberi wilayah kekuasaan kepada Raden Patah yang kelak dikemudian hari berkembang menjadi Kerajaan Demak.
Hal yang berbeda dialami putra Brawijaya V lain yang bernama Raden Katong yang belum mempunyai wilayah kekuasaan. Hingga terdengar berita bahwa sebelah timur Gunung Lawu ada seorang demang dari Kutu yang tidak mau menghadap ke Majapahit.
Maka Raden Katong disuruh menghadapkan demang tersebut ke Majapahit. Selain itu Raden Katong masuk Islam.
Aloon-aloon Ponorogo (foto : Nur_Ae). |
Demang Kutu tersebut adalah Ki Ageng Suryangalam atau terkenal dengan sebutan Kutu. Ia punggawa Majapahit yang masih termasuk kerabat keraton maka oleh Prabu Kertabumi / Brawijaya V, ia diberi jabatan demang. Kademangan Kutu atau Surukubeng wilayahnya adalah bekas kerajaan Wengker, yang mana seiring semakin lemahnya Majapahit.
Ki Ageng Kutu meneruskan tata cara dan adat kerajaan Wengker dahulu. Para pembantu dan punggawanya diajarkan beladiri dan berperang serta tapa brata.
Sementara itu Raden Katong datang ke wilayah Wengker bersama dengan Seloaji. Mereka menemui Ki Ageng Mirah yang merupakan putra Ki Ageng Gribig, seoarang ulama dari Malang.
Ki Ageng Mirah adalah penyebar Islam di Wengker. Banyak hal penting yang dijelaskan Ki Ageng Mirah kepada Raden Katong, termasuk kesulitannya dalam menyebarkan agama Islam.
Mereka kemudian sepakat berjuang bersama, Raden Katong atas dasar pemerintahan sedangkan Ki Ageng Mirah atas dasar penyebaran agama Islam. Mereka selalu koordinasi terhadap apa yang mereka hadapi dalam perjuangan ini.
Ki Ageng Mirah senang mendapat mitra Raden Katong karena masih keturunan Majapahit. Masalah Raden Katong adalah Ki Ageng Kutu tidak mau menghadap ke Majapahit sedang Ki Ageng Mirah kesulitan dalam menyebarkan agama Islam.
Pihak Raden Katong berusaha melakukan pendekatan persuasif terhadap pihak Ki Ageng Kutu, antara lain dilakukan Ki Ageng Mirah terhadap Ki Ageng Kutu secara dialogis agar Ki Ageng Kutu bersedia menghadap ke Majapahit.
Tapi Ki Ageng Kutu menolak dengan alasan antara lain Kerajaan Majapahit yang memberi pintu bagi penyebaran agama Islam padahal wilayah Wengker kebanyakan menganut agama sendiri yaitu Hindu dan Budha.
Dia menganggap penyebaran Islam dipimpin Raden Patah dan justru Majapahit mengangkatnya menjadi penguasa Demak Bintoro. Ki Ageng Mirah menjelaskan bahwa pengangkatan Raden Patah tidak salah karena masih putra Brawijaya V.
Tapi Ki Ageng Kutu tetap menganggap hal yang dilakukan Majapahit merupakan hal yang menyalahi aturan kerajaan sendiri. Akhirnya upaya dialogis yang dilakukan Ki Ageng Mirah gagal.
Upaya persuasif dari pihak Raden Katong yang gagal dilaporkan kepada Prabu Brawijaya V, dan langkah yang dilakukan Brawijaya adalah mengirim pasukan Majapahit untuk menumpas Ki Ageng Kutu. Rombongan pasukan tersebut di pimpin oleh Raden Katong. Pada dasarnya Raden Katong enggan bermusuhan dengan pihak Wengker mengingat jasa Ki Ageng Kutu terhadap Majapahit begitu banyak.
Tetapi Selo Aji memberi nasehat bahwa apa yang dianggap Ki Ageng Kutu benar adalah menurut ki Ageng Kutu sendiri, sedangkan pihak kerajaan menganggap hal yang menyalahi peraturan dan Raja pun langsung memerintahkan untuk menumpas, maka ia menasehati Raden katong untuk tidak ragu-ragu bertindak.
Maka singkat cerita terjadilah peperangan antara tentara Majapahit yang dipimpin Raden Katong beserta Ki Ageng Mirah dan Seloaji serta beberapa tokoh lain. Jalannya peperangan termasuk didalamnya strategi perang yang dilakukan tidak dibahas ditulisan ini.
Maka pada tahun 1468 M, Kutu sebagai ibukota Wengker jatuh ke tangan Raden Katong beserta bala tentaranya.
Ki Ageng Kutu bisa dikalahkan tetapi tidak ditemukan jasadnya atau musnah di bukit yang kemudian disebut dengan Gunung Bacin.
Ki Honggolono sebagai tangan kanan Ki Ageng Kutu juga Tewas dalam pertempuran ini. Raden Katong sangat terharu melihat kematian Ki Honggolono dan musnahnya Ki Ageng Kutu mengingat mereka berdua adalah para perwira yang berjasa besar kepada Majapahit terutama ketika merebut kembali Wengker yang sempat dikuasai Kediri.
Konsolidasi dalam keluarga Ki Ageng Kutu juga dilakukan antara lain menikahi dua putri Ki Ageng Kutu yaitu Niken Sulastri dan Niken Gandini, putra pertama Ki Ageng Kutu yang bernama Surohandoko menggantikan kedudukan ayahnya di Kademangan Kutu, Warok Suro Lelono sebagai Demang Wonokerto yang juga terkenal sebagai Suro Menggolo, Warok Suryongalim dijadikan Kepala Desa di Ngampel, Warok Gunoseco menjadi kepala desa di Siman, Warok Tromejo di Gunung Loreng Slahung.
Setelah bisa menguasai bekas kerajaan Wengker, Raden Katong mendirikan Kadipaten Baru dengan nama PONOROGO, "PONO" artinya pintar atau mengerti benar, "ROGO" artinya Badan atau jasmani.
Ada pula yang menyebutkan dari asal kata "PRAMANA" yang artinya rahasia hidup dan "RAGA" yang artinya Badan atau jasmani.
Kadipaten Ponorogo berdiri tahun 1496 M dengan Raden Katong sebagai Adipati pertama dengan gelar Kanjeng Panembahan Batoro Katong.
Demikian sedikit tentang sejarah perjalanan Kerajaan Wengker yang eksis selama ± 500 tahun.
Yang mana meskipun kerajaan kecil tetapi sangat diperhitungkan kekuataannya oleh kerajaan-kerajaan besar seperti Kahuripan dan Majapahit serta peletak dasar-dasar pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan budaya dari daerah yang sekarang bernama Ponorogo. (*)
#sejarahPonorogo
#kerajaanWengker
#RadenKatong
#kotaReyog
Gedung Kabupaten Ponorogo. |